Jumat, 06 Februari 2009

PERANAN BUDAYA TERHADAP EFEKTIVITAS ORGANISASI

Pengantar

Globalisasi ekonomi dan adanya era perubahan dalam menghadapi perdagangan bebas merupakan tantangan serius bagi para eksekutif dalam mengelola organisasi. Hal ini menuntut kehati-hatian untuk dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan dan sekaligus menjaga kelangsungan organisasi agar mampu bertahan hidup. Dalam era keterbukaan ini, batas-batas goegrafis bukanlah merupakan hambatan bagi kemungkinan persaingan yang timbul. Oleh karena itu, diharapkan organisasi yang ada di dalam negeri dapat mempersiapkan diri untuk membina organisasinya, terutama sumber daya manusia dan sistem, untuk mampu menghadapi kedatangan pesaingnya, baik dalam industri yang sejenis maupun industri lain.
Organisasi seringkali menghadapi berbagai persoalan ketika terjadi interaksi dengan lingkungan terutama apabila lingkungannya tidak stabil dan terus berkembang. Oleh sebab itu, organisasi perlu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang berubah-ubah tersebut agar dapat mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Di samping itu, pada saat yang sama organisasi juga menghadapi masalah internal, yang mengharuskan organisasi mengatasinya sehingga tetap terjadi suatu keterpaduan dalam fungsi organisasi. Upaya mengatasi masalah-masalah eksternal dan internal tersebut, organisasi perlu membentuk suatu budaya organisasi yang kuat dan sehat, bila ingin mempertahankan diri, bahkan jika ingin terus tumbuh dan berkembang menjadi organisasi yang efektif.
Para Pendiri organisasi meletakkan dasar bagi budaya organisasi yang didirikannya sejak awal, baik secara sadar atau tidak. Seiring dengan adanya pertumbuhan organisasi sebagai hasil interaksi organisasi dengan lingkungannya dalam usaha pengembangan organisasinya, maka secara sadar nilai-nilai pokok tertentu yang ada dalam budaya organisasi juga akan mengalami perubahan. Oleh sebab itu, budaya organisasi perlu dikelola agar sesuai dengan pertumbuhan organisasi tersebut, karena budaya organisasi memiliki peranan yang sangat penting tehadap efektifitas organisasi.

Definisi Budaya Organisasi

Definisi budaya organisasi antara lain dikemukakan oleh Robbins (1990), budaya organisasi merupakan nilai-nilai dominan atau falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap para anggota organisasi tersebut. Selain itu budaya organisasi juga merupakan sistem nilai yang diyakini, dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, dan dijadikan acuan perilaku oleh semua anggota organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.

Selain itu, Shein (Renstra LAPAN, 2005) – pakar dalam “Applied Strategic Planning” mendefinisikan budaya sebagai suatu pola dari asumsi-asumsi dasar (keyakinan dan harapan) yang ditemukan ataupun dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu dari organisasi, dan kemudian menjadi acuan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan adaptasi keluar dan integrasi internal, yang dalam kurun waktu tertentu telah berfungsi dengan baik, maka dipandang sah, karenanya dibakukan, sehingga setiap anggota organisasi harus menerimanya sebagai cara yang tepat dalam pendekatan pelaksanaan pekerjaan-pekerjaan dalam organisasi.

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya adalah suatu pola dari keseluruhan keyakinan dan harapan yang dipegang teguh secara bersama oleh semua anggota organisasi dalam pelaksanaan pekerjaan yang ada dalam organisasi tersebut. Dengan demikian, budaya dalam suatu organisasi adalah menjadi pengikat semua karyawan dan sekaligus sebagai pemberi arti dan maksud dari keterlibatan karyawan dalam organisasi.

Budaya meliputi suatu sistem nilai yang diyakini oleh individu maupun organisasi. Rokeach (Renstra LAPAN, 2005) mendefinisikan nilai sebagai suatu keyakinan yang berlangsung terus dan relatif tetap bahwa suatu cara khusus mengenai perilaku atau keadaan akhir dari keberadaan adalah lebih baik secara pribadi atau secara sosial dibandingkan dengan cara yang berlawanan dengan cara khusus tersebut. Sedangkan Sistem Nilai adalah suatu rangkaian kesatuan dari nilai-nilai yang relatif penting dalam organisasi.

Oleh karena itu, nilai yang dianut oleh organisasi akan membawa organisasi kepada suatu tujuan tertentu yang dianggap benar. Demikian pula halnya, nilai yang dianut organisasi akan membawa organisasi tersebut kepada cara-cara tertentu yang tepat dalam mencapai tujuan organisasi, dan cenderung mengabaikan cara-cara lainnya karena dianggap sebagai cara yang salah, dengan kata lain nilai menentukan norma-norma ataupun prinsip-prinsip (standar tindakan) dalam organisasi. Sehubungan dengan lingkup substansi nilai dan kaitannya dengan budaya, maka dapat dinyatakan bahwa suatu orgtanisasi yang mempunyai budaya kuat/mapan adalah organisasi dengan misi dan prinsip yang diterapkannya cukup jelas, dan lebih lanjut dapat dipahami setiap anggota organisasi dan stakeholders. Untuk pemahaman ini, organisassi dituntut untuk mengembangkan “culture network”.

Berdasarkan definisi budaya dan nilai yang telah diuraikan di atas dapat dinyatakan bahwa budaya adalah himpunan sentral dari asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai, di mana nilai-nilai akan menurunkan prinsip-prinsip. Lebih lanjut penerapan prinsip-prinsip akan menjadi upaya validasi bagi budaya tersebut. Oleh karena itu dalam suatu organisasi selalu terjadi proses siklus budaya: keyakinan - nilai - prinsip - keyakinan.

Budaya mengimplikasikan adanya dimensi atau karakteristik tertentu yang berhubungan secara erat dan interdependent. Robbins (1990) mengemukakan bahwa ada sepuluh karakteristik budaya yang berlaku di suatu organisasi yang membedakan antara budaya dari masing-masing organisasi. Karakteristik tersebut adalah:

1. Inisiatif individual

Tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan independensi yang dimiliki oleh individu.

2. Toleransi terhadap tindakan beresiko

Sejauh mana para karyawan dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif, dan berani mengambil resiko.

3. Arah (direction)

Sejauh mana organisasi menciptakan dan menggambarkan secara jelas sasaran dan harapan mengenai prestasi.

4. Integrasi

Sejauh mana unit-unit dalam organisasi didorong untuk bekerja secara terkoordinasi.

5. Dukungan dari manajemen

Sejauh mana para manager dapat berkomunikasi secara jelas, memberikan bantuan, serta dukungan terhadap bawahannya.

6. Control

Seberapa banyak peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku karyawan.

7. Identitas

Sejauh mana para anggota organisasi mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari organisasi secara keseluruhan dibandikan dengan kelompok kerja atau dengan bidang keahlian professional.

8. Sistem imbalan (reward sistem)

Sejauh mana alokasi reward (misalnya, kenaikan gaji, promosi) berdasarkan pada kriteria kinerja karyawan sebagai kebalikan dari sistem senioritas, sikap pilih kasih, dan sebagainya.

9. Toleransi terhadap konflik

Sejauh mana para karyawan didorong untuk mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka

10. Pola – pola komunikasi

Sejauh mana komunikasi organisasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal.

Kesepuluh karakteristik tersebut mencakup dimensi struktural dan perilaku dalam organisasi.


Budaya dan Keefektifan Organisasi

Budaya organisasi memiliki peran yang sangat strategis terhadap kesuksesan suatu organisasi, misalnya untuk membangun kinerja ekonomi dan kinerja organisasionalnya dalam jangka panjang sebagai sarana bagi anggota organisasi untuk memenuhi kebutuhan serta mencapai tujuannya. Sejauh mana budaya mempengaruhi efektifitas organisasi dapat diketahui dengan melihat kuat atau lemahnya budaya organisasi tersebut.

Robbins (1996) mengemukakan bahwa organisasi dengan budaya yang lemah, individu di dalamnya tidak memiliki kesiapan akan terjadinya sebuah perubahan. Mereka lebih menyukai nilai-nilai, baik nilai-nilai individu maupun nilai-nilai kelompok yang selama ini telah dimiliki. Mereka juga lebih menyukai cara kerja yang selama ini telah mereka lakukan dan menolak adanya perubahan, terutama perubahan yang menuntut kemampuan dan ketrampilan baru untuk memenuhi tuntutan dan kewajiban yang diharapkan.

Apabila komponen dalam organisasi tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, maka hal ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan organisasi. Selanjutnya berdampak pada efektivitas organisasi itu sendiri.

Di sisi lain, adanya nilai inti (core value) dari organisasi yang dianut dengan kuat, diatur dengan baik, dan dirasakan secara meluas merupakan cirri dari budaya organisasi yang kuat. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima nilai-nilai inti (core values), memahami dan menyetujui jajaran tingkat kepentingannya, dan tingginya komitmen tehadap organisasi, maka semakin kuat budaya tersebut. Dengan adanya budaya organisasi yang kuat dan sehat di setiap perusahaan akan berdampak positif di perusahaan tersebut. Dengan adanya budaya organisasi kuat dan sehat dapat difungsikan sebagi tuntutan yang mengikat para karyawan karena diformulasikan secara formal ke dalam berbagai peraturan dan ketentuan perusahaan. Dengan demikian budaya organisasi akan menciptakan peningkatan produktifitas, dan kinerja. Budaya organisasi yang kuat dapat mempengaruhi efektivitas organisasi, karena untuk mencapai efektivitas maka dibutuhkan budaya organisasi, strategi, lingkungan, dan teknologi yang sesuai. Budaya organisasi lebih kuat apabila terdapat kecocokan budaya (culture fit) dengan variabel-variabel penting lainnya, meliputi: strategi, lingkungan, dan teknologi (Robbins, 1990).

Kanungo dan Jaeger (Smith, dkk: 2001) juga mengemukakan bahwa kecocokan budaya (culture fit) menentukan efektivitas organisasi. Budaya yang dimaksud di sini mencakup: lingkungan fisik dan sosio-politik, yang meliputi konteks ekologi, sosialisasi, hukum, dan sistem politik yang sangat berpengaruh terhadap lingkungan perusahaan yang mencakup karakteristik pasar, kepemilikan (ownership), sifat industri, dan sebagainya. Hal ini mempengaruhi budaya kerja dalam organisasi, yang diterapkan pada sejumlah kegiatan HRM (human resource management), yang antara lain meliputi: desain pekerjaan, pengawasan, dan prosedur pemberian reward.

Budaya yang kuat juga akan meningkatkan perilaku yang konsisten dari anggota organisasi. Oleh karena itu, budaya dapat dijadikan sebagai sarana yang kuat untuk mengontrol dan dapat bertindak sebagai sebuah substitusi bagi formalisasi. Semakin kuat budaya suatu organisasi maka semakin lemah atau rendah formalisasi yang berlaku di oraganisasi tersebut. Kebutuhan manajemen untuk mengembangkan peraturan dan kebijakan formal sebagai pedoman perilaku kerja anggota organisasi makin kurang. Pedoman tersebut akan dipahami dan diterima oleh anggota organisasi apabila mereka menerima budaya organisasi tersebut.


Menciptakan, Mempertahankan, dan Menyebarluaskan Budaya

Para pendiri organisasi secara tradisional mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan budaya organisasi, karena para pendiri tersebut adalah orang-orang yang mempunyai ide awal, mereka juga biasanya mempunyai bias tentang bagaimana ide-ide tersebut direalisasikan. Robbins (1990) berpendapat bahwa budaya organisasi merupakan hasil interaksi antara (1) bias dan asumsi para pendirinya, dan (2) hasil belajar dan pengalaman dari anggota organisasi. Budaya yang diciptakan dalam suatu kondisi atau lingkungan organisasi mempunyai Kekuatan-kekuatan yang mempunyai peranan penting untuk mempertahankan budaya tersebut. kekuatan tersebut adalah praktek seleksi organisasi, tindakan manajemen puncak, serta metode sosialisasi organisasi.

Seleksi

Tujuan dari proses seleksi adalah untuk merekrut orang-orang yang memiliki kemampuan dan kompetensi yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh organisasi, namun selain itu, hal tujuan lainnya adalah menemukan orang - orang yang cocok atau sesuai dengan budaya organisasi. Menurut Rothman (2006) dengan menggunakan metode cultural fit, maka dapat dapat ditemukan orang (calon karyawan) yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan budaya organisasi dalam porsi yang sama besarnya dengan kemampuan teknisnya. Dengan pendekatan ini, akan lebih mudah menemukan orang yang dapat terintegrasi dengan organisasi.

Tindakan Top Manajemen

Tindakan yang dilakukan oleh pihak manajemen mempunyai pengaruh atau dampak yang besar terhadap budaya organisasi. Setiap tindakan yang diambil oleh manajemen, baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perilaku kerja bawahan, karena tindakan tersebut dalam kurun waktu tetentu akan mempengaruhi karakteristik budaya organisasi. Misalnya bagaimana suatu kejadian dalam organisasi menetapkan norma-norma yang kemudian meresap melalui organisasi dan memberitahukan apakah pengambilan resiko diinginkan atau tidak, sejauhmana kebebasan yang diberikan oleh para manajer kepada bawahannya, kriteria kinerja seperti apa yang akan menunjang kenaikan gaji, promosi, dan imbalan lainnya.

Sosialisasi

Sosialisasi adalah proses penyesuaian diri terhadap budaya organisasi. Metode atau strategi yang digunakan oleh organisasi dalam mensosialisasikan budayanya mempengaruhi apakah budaya tersebut mudah terintegrasi atau tidak.

1 komentar:

  1. thats greats my broyher....thanks very much for your information

    BalasHapus