Kamis, 12 Februari 2009

MANAJEMEN KONFLIK DALAM KELOMPOK

(Budaya Kolektif Vs Individualis)

Penelitian-penelitian lintas budaya menyatakan bahwa perbedaan antara budaya kolektif dan individualis sangat mempengaruhi komposisi, proses dan hasil dari kelompok kerja (Sosik dan Jung, 2002). Pada proses terbentuknya kelompok terdapat beberapa tahapan, yaitu forming, storming, norming dan performing. Pada tahap storming suatu kelompok yang terbentuk memiliki ciri yang khas yaitu terjadi konflik antar anggota kelompok dimana antar anggota membentuk faksi, terjadi konflik kepribadian dan konflik sudut pandang, banyak yang dikatakan tapi sedikit yang dikomunikasikan karena tidak saling mendengarkan atau karena saling tertutup, efektivitas rendah bahkan bisa lebih rendah dibanding individu yang bekerja sendiri. Jika keadaan ini tidak dikelola maka kelompok tersebut akan mengalami kelelahan dan putus asa.

Budaya individualis merupakan bentuk kemandirian atau kemerdekaan individu dari kelompoknya, individu akan berperilaku sesuai dengan ketertarikan mereka secara pribadi. Dimana dalam budaya individu, tujuan individu tidak harus sesuai dengan tujuan kelompok sehingga ketika individu memutuskan untuk masuk ke dalam suatu kelompok maka pertimbangannya adalah sejauh mana kelompok tersebut memberikan kontribusi terhadap tujuan individu tersebut. Dalam budaya Individualis individu dilihat sebagai bentuk yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh bagaimana orang-orang disekitarnya, mereka lebih fokus pada diri sendiri dengan tidak menutupi dan mengekspresikan atribut-atribut yang unik dari dalam dirinya. Ketidaksesuaian tujuan antara individu dengan kelompok dapat menjadi alasan yang kuat untuk memutuskan hubungan kerja (Hofstede dan Hofstede, 2005).

Pada budaya kolektif, individu berperilaku sesuai ketertarikan atau yang diharapkan oleh kelompok yang tidak selalu tepat dengan ketertarikan individu. Individu juga tidak suka menonjolkan siapa dirinya. Anggota kelompok juga merasa terintegrasi secara emosional dengan kelompoknya. Perbedaan di dalam kelompok seperti suku memiliki peran yang penting dalam proses kerja suatu kelompok kerja. Sehingga dalam budaya kolektif sangat disarankan untuk menempatkan orang-orang dengan latar belakang budaya yang sama. Pribadi individu kolektif termasuk pribadi yang saling tergantung atau sangat dipengaruhi oleh kelompoknya (Hofstede danHofstede, 2005).

Kinerja kelompok sangat dipengaruhi oleh komposisi, ukuran, norma dan kohesivitas. Aspek komposisi yang dimaksud adalah sejauh mana tingkat persamaan atau perbedaan karakteristik anggota-anggotanya, pada faktor-faktor penting yang berkaitan dengan kerja kelompok misalnya: usia, pengalaman kerja, pendidikan, spesialisasi atau latar belakang budaya. Kohesivitas yang tinggi juga sangat dibutuhkan guna mencapai kinerja yang maksimal dimana akan memudahkan tercapainya tujuan bersama, kepuasan personal anggotanya, meningkatnya kualitas dan kuantitas interaksi serta terbentuknya groupthink. Melalui komposisi yang sesuai dan kohesivitas yang tinggi sebuah kelompok kerja dapat memaksimalkan kinerjanya termasuk dalam mengatasi konflik yang terjadi di dalam kelompok.

Dalam kelompok yang kohesif akan terbentuk suatu groupthink, dimana semua kelompok memiliki persamaan persepsi. Terbentuknya groupthink akan didukung oleh anggota organisasi yang menganut budaya kolektif, dimana mereka akan lebih mengutamakan tujuan kelompok dan lebih menyenangi jika diidentifikasi sebagai kelompok bukan sebagai individu termasuk hasil pemikiran mereka.

Perbedaan antar anggota di dalam budaya individualis menjadi lebih di permasalahkan dibandingkan pada budaya kolektif (Hofstede dan Hofstede, 2005). Budaya kolektif akan lebih mengutamakan keharmonisan. Perbedaan tersebut digambarkan sebagai persepsi anggota kelompok terhadap perbedaan tingkat pengalaman dan ketrampilan yang dimiliki anggota kelompok lain. Konflik terjadi jika terdapat pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda bahkan berlawanan dengan pihak lain (Kreitner dan Kinicki, 2006). Konflik yang terjadi dalam sebuah kelompok kerja dapat mengancam kelangsungan organisasi. Dalam mengatasi konflik kelompok, kesamaan pemikiran dan pandangan antar anggota sangat diperlukan. Kohesivitas dalam kelompok akan memunculkan perasaan kesatuan/keterpaduan antar anggota kelompok sehingga akan menyatukan mereka. Semakin kohesif maka akan memelihara groupthink karena disamping pendapat-pendapat yang kritis, keinginan untuk maju didukung oleh semua anggota kelompok (Kreitner dan Kinicki, 2006).

Menurut Kreitner dan Kinicki (2006) terdapat lima cara dalam menghadapi konflik yaitu:

1. Integrating ( Problem Solving) à individu sangat peduli terhadap orang lain dan dirinya sendiri. Pada cara ini, terdapat ketertarikan untuk mengkonfrontasi permasalahan dan berusaha kooperatif dalam mengidentifikasi permasalahan.

2. Obliging ( Smoothing) à Orang yang bergaya obliging mengabaikan hak-haknya sendiri demi orang lain, dapat disebut juga smoothing dimana perbedaan dihindari dan lebih mengutamakan persamaan. Tipe ini biasanya sesuai untuk mengatasi masalah-masalah yang lebih simpel, karena untuk masalah yang kompleks berpotensi menimbulkan masalah dikemudian hari.

3. Dominating (Forces) à Kepedulian terhadap diri tinggi dan mengabaikan hak-hak yang lain, prinsipnya win-loose. Tipe ini sesuai untuk menerapkan keputusan-keputusan yang tidak populis atau didesak oleh waktu.

4. Avoiding à Biasanya berupa tindakan pasif ataupun menghindari masalah. Sesuai jika keputusan yang diambil berkaitan dengan konflik tidak sepadan hasilnya. Terutama jika mempertimbangkan masalah waktu dan menghadapi situasi ambigu. Kelemahan model ini tidak mampu menyelesaikan masalah.

5. Compromising à Merupakan pendekatan yang moderate untuk semua pihak. Model ini cocok jika semua fihak menghandaki kekuatan yang sama/setara atau jika pihak lawan mempunyai tujuan yang berlawanan, dan tidak cocok bila diterapkan secara terus menerus karena tidak efektif untuk semua belah fihak

Penelitian tentang efek konflik dalam kelompok menyebutkan bahwa ketika terjadi konflik budaya individualis menunjukkan kinerja kelompok yang lebih baik terutama dalam hal diskusi kelompok sedangkan dalam budaya kolektif disebutkan bahwa konflik dilihat sebagai ancaman. Pengelolaan konflik sangat dipengaruhi oleh budaya yang dianut oleh anggota kelompoknya (Nibler dan Harris, 2003). Pada budaya kolektif yang notabene akan cenderung kohesif seperti di Cina pengelolaan konflik ditekankan pada penghindaran atas konflik, menekan reaksi emosional dan memilih untuk tidak mengkonfrontasi. Jika terdapat konflik maka budaya individualis menunjukkan kinerja yang lebih efektif, mereka bersikap lebih terbuka dan ekspresif untuk mencapai hasil yang optimal. Sedangkan kelompok kolektif memandang konflik sebagai ancaman terhadap harmoni kelompok mereka. Budaya individual tidak fokus pada permasalahan interpersonal mereka lebih fokus pada penyelesaian tugas. Sedangkan budaya kolektif lebih fokus pada permasalahan interpersonal (Nibler dan Haris, 2003).

Menurut Ursiny (dalam Kreitner dan Kinicki, 2006) orang cenderung menghindari konflik karena kekhawatiran mereka akan perasaan terluka, ditolak, kerusakan hubungan, marah, takut dinilai egois, dan ketakutan melukai orang lain. Konflik bisa berakibat positif dan negatif. Pada budaya kolektif, konflik dapat berakibat negatif karena dianggap dapat merusak “harmonis” sehingga mereka cenderung akan menghindari konflik dan membiarkan konflik tersebut terselesaikan secara otomatis. Karena itu, kompetisi pada budaya kolektif jarang ditemukan karena kompetisi dipandang sebagai konflik yang mengancam kebersamaan atau harmoni kelompok. Mereka lebih nyaman jika keberhasilan kelompok disebabkan oleh kerjasama dan kinerja anggota kelompok. Sedangkan pada budaya individualis, konflik dapat berakibat positif karena dapat meningkatkan kinerja individu dalam rangka menunjukkan identitasnya misalnya kompetisi yang memacu motivasi para anggota.

Idealnya, konflik yang terjadi diharapkan dapat berakibat positif baik bagi budaya individualis maupun kolektif karena dalam proses pengelolaan konflik outcomes yang muncul yaitu (Kreitner dan Kinicki, 2006) :

1. Agreement atau persetujuan

Bentuk agreement yang paling ideal adalah kolaborasi atau integrating, karena dalam p enyelesaian model ini, semua pihak bernegosiasi dengan memperhitungkan hak semua pihak. Model yang sedikit di bawah kolaborasi adalah compromising, karena semua pihak menurunkan standarnya untuk menyesuaikan antara kepentingan kelompok dan individu tanpa ada yang merasa dirugikan.

2. Relationship yang lebih kuat

Terjadinya konflik, seperti disebutkan di atas, terkait dengan proses pembentukan kelompok atau konflik sebagai proses terbentuknya kelompok, sehingga dengan berhasil diselesaikannya konflik dapat memperkuat kohesivitas kelompok.

3. Proses pembelajaran

Selama masa proses pengelolaan konflik ini diharapkan akan memunculkan kesadaran diri (self awareness) dan kreativitas pada setiap anggota organisasi sehingga akan meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi konflik di masa yang akan datang. Anggota kelompok juga belajar untuk menghormati dan memahami perbedaan, sehingga memandang perbedaan bukan lagi sebagai suatu ancaman tapi sebagai suatu bagian dari kelompok yang dapat saling melengkapi.

Individu dengan budaya kolektif memiliki keinginan yang tinggi untuk menjalin hubungan cenderung untuk memilih cara yang halus seperti mengalah daripada menghindari konflik (Kreitner dan Kinicki, 2006). Sedangkan pada individu dengan budaya individual akan cenderung asertif dan tidak segan-segan mengeluarkan pendapatnya sebagai refleksi dari keinginan mereka untuk menonjolkan diri mereka. Perbedaan pendapat maupun tujuan pada budaya individu bukan menjadi alasan bagi mereka untuk harus mengalah dan tetap berada di kelompok tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada budaya kolektif, anggota kelompok akan lebih menyesuaikan dirinya dengan kelompok dan mengutamakan kepentingan kelompok sehingga anggota organisasi akan memilih cara-cara yang halus seperti integrating dan obliging dimana cara-cara tersebut menunjukkan bahwa anggota organisasi lebih peduli pada orang lain. Hal tersebut tentu saja akan memudahkan tercapainya tujuan kelompok dan menampilkan kekompakan kelompok dalam bekerja, sedangkan pada budaya individualis cenderung untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka sehingga cenderung untuk avoiding dan dominating dimana cara-cara tersebut menunjukkan bahwa anggota organisasi lebih peduli kepada diri mereka. Namun cara tersebut justru memungkinkan mereka untuk berdiskusi mencari kesesuaian dan memungkinkan munculnya ide-ide dari anggota kelompok tidak hanya mengalah dan mengorbakan kepentingan individu karena adanya penekanan mereka pada hasil kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar