Kamis, 12 Februari 2009

MANAJEMEN KONFLIK DALAM KELOMPOK

(Budaya Kolektif Vs Individualis)

Penelitian-penelitian lintas budaya menyatakan bahwa perbedaan antara budaya kolektif dan individualis sangat mempengaruhi komposisi, proses dan hasil dari kelompok kerja (Sosik dan Jung, 2002). Pada proses terbentuknya kelompok terdapat beberapa tahapan, yaitu forming, storming, norming dan performing. Pada tahap storming suatu kelompok yang terbentuk memiliki ciri yang khas yaitu terjadi konflik antar anggota kelompok dimana antar anggota membentuk faksi, terjadi konflik kepribadian dan konflik sudut pandang, banyak yang dikatakan tapi sedikit yang dikomunikasikan karena tidak saling mendengarkan atau karena saling tertutup, efektivitas rendah bahkan bisa lebih rendah dibanding individu yang bekerja sendiri. Jika keadaan ini tidak dikelola maka kelompok tersebut akan mengalami kelelahan dan putus asa.

Budaya individualis merupakan bentuk kemandirian atau kemerdekaan individu dari kelompoknya, individu akan berperilaku sesuai dengan ketertarikan mereka secara pribadi. Dimana dalam budaya individu, tujuan individu tidak harus sesuai dengan tujuan kelompok sehingga ketika individu memutuskan untuk masuk ke dalam suatu kelompok maka pertimbangannya adalah sejauh mana kelompok tersebut memberikan kontribusi terhadap tujuan individu tersebut. Dalam budaya Individualis individu dilihat sebagai bentuk yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh bagaimana orang-orang disekitarnya, mereka lebih fokus pada diri sendiri dengan tidak menutupi dan mengekspresikan atribut-atribut yang unik dari dalam dirinya. Ketidaksesuaian tujuan antara individu dengan kelompok dapat menjadi alasan yang kuat untuk memutuskan hubungan kerja (Hofstede dan Hofstede, 2005).

Pada budaya kolektif, individu berperilaku sesuai ketertarikan atau yang diharapkan oleh kelompok yang tidak selalu tepat dengan ketertarikan individu. Individu juga tidak suka menonjolkan siapa dirinya. Anggota kelompok juga merasa terintegrasi secara emosional dengan kelompoknya. Perbedaan di dalam kelompok seperti suku memiliki peran yang penting dalam proses kerja suatu kelompok kerja. Sehingga dalam budaya kolektif sangat disarankan untuk menempatkan orang-orang dengan latar belakang budaya yang sama. Pribadi individu kolektif termasuk pribadi yang saling tergantung atau sangat dipengaruhi oleh kelompoknya (Hofstede danHofstede, 2005).

Kinerja kelompok sangat dipengaruhi oleh komposisi, ukuran, norma dan kohesivitas. Aspek komposisi yang dimaksud adalah sejauh mana tingkat persamaan atau perbedaan karakteristik anggota-anggotanya, pada faktor-faktor penting yang berkaitan dengan kerja kelompok misalnya: usia, pengalaman kerja, pendidikan, spesialisasi atau latar belakang budaya. Kohesivitas yang tinggi juga sangat dibutuhkan guna mencapai kinerja yang maksimal dimana akan memudahkan tercapainya tujuan bersama, kepuasan personal anggotanya, meningkatnya kualitas dan kuantitas interaksi serta terbentuknya groupthink. Melalui komposisi yang sesuai dan kohesivitas yang tinggi sebuah kelompok kerja dapat memaksimalkan kinerjanya termasuk dalam mengatasi konflik yang terjadi di dalam kelompok.

Dalam kelompok yang kohesif akan terbentuk suatu groupthink, dimana semua kelompok memiliki persamaan persepsi. Terbentuknya groupthink akan didukung oleh anggota organisasi yang menganut budaya kolektif, dimana mereka akan lebih mengutamakan tujuan kelompok dan lebih menyenangi jika diidentifikasi sebagai kelompok bukan sebagai individu termasuk hasil pemikiran mereka.

Perbedaan antar anggota di dalam budaya individualis menjadi lebih di permasalahkan dibandingkan pada budaya kolektif (Hofstede dan Hofstede, 2005). Budaya kolektif akan lebih mengutamakan keharmonisan. Perbedaan tersebut digambarkan sebagai persepsi anggota kelompok terhadap perbedaan tingkat pengalaman dan ketrampilan yang dimiliki anggota kelompok lain. Konflik terjadi jika terdapat pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda bahkan berlawanan dengan pihak lain (Kreitner dan Kinicki, 2006). Konflik yang terjadi dalam sebuah kelompok kerja dapat mengancam kelangsungan organisasi. Dalam mengatasi konflik kelompok, kesamaan pemikiran dan pandangan antar anggota sangat diperlukan. Kohesivitas dalam kelompok akan memunculkan perasaan kesatuan/keterpaduan antar anggota kelompok sehingga akan menyatukan mereka. Semakin kohesif maka akan memelihara groupthink karena disamping pendapat-pendapat yang kritis, keinginan untuk maju didukung oleh semua anggota kelompok (Kreitner dan Kinicki, 2006).

Menurut Kreitner dan Kinicki (2006) terdapat lima cara dalam menghadapi konflik yaitu:

1. Integrating ( Problem Solving) à individu sangat peduli terhadap orang lain dan dirinya sendiri. Pada cara ini, terdapat ketertarikan untuk mengkonfrontasi permasalahan dan berusaha kooperatif dalam mengidentifikasi permasalahan.

2. Obliging ( Smoothing) à Orang yang bergaya obliging mengabaikan hak-haknya sendiri demi orang lain, dapat disebut juga smoothing dimana perbedaan dihindari dan lebih mengutamakan persamaan. Tipe ini biasanya sesuai untuk mengatasi masalah-masalah yang lebih simpel, karena untuk masalah yang kompleks berpotensi menimbulkan masalah dikemudian hari.

3. Dominating (Forces) à Kepedulian terhadap diri tinggi dan mengabaikan hak-hak yang lain, prinsipnya win-loose. Tipe ini sesuai untuk menerapkan keputusan-keputusan yang tidak populis atau didesak oleh waktu.

4. Avoiding à Biasanya berupa tindakan pasif ataupun menghindari masalah. Sesuai jika keputusan yang diambil berkaitan dengan konflik tidak sepadan hasilnya. Terutama jika mempertimbangkan masalah waktu dan menghadapi situasi ambigu. Kelemahan model ini tidak mampu menyelesaikan masalah.

5. Compromising à Merupakan pendekatan yang moderate untuk semua pihak. Model ini cocok jika semua fihak menghandaki kekuatan yang sama/setara atau jika pihak lawan mempunyai tujuan yang berlawanan, dan tidak cocok bila diterapkan secara terus menerus karena tidak efektif untuk semua belah fihak

Penelitian tentang efek konflik dalam kelompok menyebutkan bahwa ketika terjadi konflik budaya individualis menunjukkan kinerja kelompok yang lebih baik terutama dalam hal diskusi kelompok sedangkan dalam budaya kolektif disebutkan bahwa konflik dilihat sebagai ancaman. Pengelolaan konflik sangat dipengaruhi oleh budaya yang dianut oleh anggota kelompoknya (Nibler dan Harris, 2003). Pada budaya kolektif yang notabene akan cenderung kohesif seperti di Cina pengelolaan konflik ditekankan pada penghindaran atas konflik, menekan reaksi emosional dan memilih untuk tidak mengkonfrontasi. Jika terdapat konflik maka budaya individualis menunjukkan kinerja yang lebih efektif, mereka bersikap lebih terbuka dan ekspresif untuk mencapai hasil yang optimal. Sedangkan kelompok kolektif memandang konflik sebagai ancaman terhadap harmoni kelompok mereka. Budaya individual tidak fokus pada permasalahan interpersonal mereka lebih fokus pada penyelesaian tugas. Sedangkan budaya kolektif lebih fokus pada permasalahan interpersonal (Nibler dan Haris, 2003).

Menurut Ursiny (dalam Kreitner dan Kinicki, 2006) orang cenderung menghindari konflik karena kekhawatiran mereka akan perasaan terluka, ditolak, kerusakan hubungan, marah, takut dinilai egois, dan ketakutan melukai orang lain. Konflik bisa berakibat positif dan negatif. Pada budaya kolektif, konflik dapat berakibat negatif karena dianggap dapat merusak “harmonis” sehingga mereka cenderung akan menghindari konflik dan membiarkan konflik tersebut terselesaikan secara otomatis. Karena itu, kompetisi pada budaya kolektif jarang ditemukan karena kompetisi dipandang sebagai konflik yang mengancam kebersamaan atau harmoni kelompok. Mereka lebih nyaman jika keberhasilan kelompok disebabkan oleh kerjasama dan kinerja anggota kelompok. Sedangkan pada budaya individualis, konflik dapat berakibat positif karena dapat meningkatkan kinerja individu dalam rangka menunjukkan identitasnya misalnya kompetisi yang memacu motivasi para anggota.

Idealnya, konflik yang terjadi diharapkan dapat berakibat positif baik bagi budaya individualis maupun kolektif karena dalam proses pengelolaan konflik outcomes yang muncul yaitu (Kreitner dan Kinicki, 2006) :

1. Agreement atau persetujuan

Bentuk agreement yang paling ideal adalah kolaborasi atau integrating, karena dalam p enyelesaian model ini, semua pihak bernegosiasi dengan memperhitungkan hak semua pihak. Model yang sedikit di bawah kolaborasi adalah compromising, karena semua pihak menurunkan standarnya untuk menyesuaikan antara kepentingan kelompok dan individu tanpa ada yang merasa dirugikan.

2. Relationship yang lebih kuat

Terjadinya konflik, seperti disebutkan di atas, terkait dengan proses pembentukan kelompok atau konflik sebagai proses terbentuknya kelompok, sehingga dengan berhasil diselesaikannya konflik dapat memperkuat kohesivitas kelompok.

3. Proses pembelajaran

Selama masa proses pengelolaan konflik ini diharapkan akan memunculkan kesadaran diri (self awareness) dan kreativitas pada setiap anggota organisasi sehingga akan meningkatkan kemampuan mereka dalam menghadapi konflik di masa yang akan datang. Anggota kelompok juga belajar untuk menghormati dan memahami perbedaan, sehingga memandang perbedaan bukan lagi sebagai suatu ancaman tapi sebagai suatu bagian dari kelompok yang dapat saling melengkapi.

Individu dengan budaya kolektif memiliki keinginan yang tinggi untuk menjalin hubungan cenderung untuk memilih cara yang halus seperti mengalah daripada menghindari konflik (Kreitner dan Kinicki, 2006). Sedangkan pada individu dengan budaya individual akan cenderung asertif dan tidak segan-segan mengeluarkan pendapatnya sebagai refleksi dari keinginan mereka untuk menonjolkan diri mereka. Perbedaan pendapat maupun tujuan pada budaya individu bukan menjadi alasan bagi mereka untuk harus mengalah dan tetap berada di kelompok tersebut.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada budaya kolektif, anggota kelompok akan lebih menyesuaikan dirinya dengan kelompok dan mengutamakan kepentingan kelompok sehingga anggota organisasi akan memilih cara-cara yang halus seperti integrating dan obliging dimana cara-cara tersebut menunjukkan bahwa anggota organisasi lebih peduli pada orang lain. Hal tersebut tentu saja akan memudahkan tercapainya tujuan kelompok dan menampilkan kekompakan kelompok dalam bekerja, sedangkan pada budaya individualis cenderung untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka sehingga cenderung untuk avoiding dan dominating dimana cara-cara tersebut menunjukkan bahwa anggota organisasi lebih peduli kepada diri mereka. Namun cara tersebut justru memungkinkan mereka untuk berdiskusi mencari kesesuaian dan memungkinkan munculnya ide-ide dari anggota kelompok tidak hanya mengalah dan mengorbakan kepentingan individu karena adanya penekanan mereka pada hasil kerja.

BUDAYA DAN KOMITMEN KERJA KARYAWAN

(Dalam Konteks Indonesia)

Pengantar

Komitmen adalah istilah yang cenderung abstrak, seabstrak dalam praktiknya. Namun demikian, manusia pada dasarnya menyukai hal-hal yang abstrak, seperti keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan sederet ke-an lain yang serba nyaman. Mowday, dkk (1984) mendefinisikan komitment organisasi sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan keterlibatan dirinya ke dalam bagian organisasi.

Pada dasarnya, kinerja suatu perusahaan, sangat ditentukan oleh komitmen karyawannya. Semakin besar komitmen karyawan, maka akan semakin besar pula ia mencurahkan segala kemampuannya untuk memberikan sesuatu yang lebih dari yang diminta oleh perusahaan. Hal itu juga berarti bahwa semakin besar komitmen karyawan, maka akan semakin cemerlang pekerjaannya, dan pada akhirnya tentu performa perusahaan akan meningkat. Hal ini biasa disebut dengan istilah beyond compliance. Untuk melihat komitmen seorang karyawan, biasanya kita perlu melihat terlebih dahulu komitmen perusahaan terhadap karyawannya. Ini adalah hukum transaksi yang wajar berlaku di dunia bisnis. Karena memang, besar kecilnya komitmen karyawan terhadap perusahaan itu, akan sangat tergantung kepada besar kecilnya komitmen perusahaan terhadap karyawan.

Terkait dengan pengaruh faktor budaya itu, maka hasil survei yang dilakukan oleh Hay Group (konsultan kelas dunia yang berpusat di Boston, USA) menarik untuk kita cermati. Menurut data Hay Group, yang dilansir dalam majalah SWAsembada edisi 02/XXII/ 26 Januari – 8 Februari 2006, dari 32 negara yang di survei, ternyata Indonesia menempati urutan ke 31 pada Indeks Komitmen Karyawannya. Lihat Tabel 1 berikut :

Tabel 1

Indeks Komitmen Karyawan di Sejumlah Negara

No

Nama Negara

Skor


No

Nama Negara

Skor

1

Austria

87


17

New Zealand

78

2

Denmark

87


18

USA

78

3

Finland

87


19

Philippines

77

4

Mexico

87


20

Australia

76

5

Brazil

85


21

Poland

76

6

Netherland

84


22

France

75

7

Switzerland

83


23

Italy

75

8

Belgium

82


24

Ireland

73

9

Spain

82


25

United Kingdom

73

10

Argentina

81


26

Singapore

69

11

Germany

80


27

China

67

12

Portugal

80


28

Malaysia

65

13

Sweden

80


29

Hongkong

64

14

Greece

79


30

Korea

63

15

Canada

78


31

Indonesia

63

16

Chile

78


32

Japan

58

Berdasarkan data di atas, jika di benchmark dengan negara maju lain, Indeks Komitmen Karyawan di Indonesia ini cukup memprihatinkan. Negara Austria, Denmark, Finlandia, dan Mexico memiliki indeks komitmen tertinggi (87). Sementara negara-negara Asia, rata-rata memiliki indeks komitmen terendah, kecuali Filipina yang memiliki indeks lumayan (77). Selebihnya, negara-negara Asia berada di bawah angka 70, dimana Indonesia sendiri sama dengan Korea.

Selain data antar negara tersebut, terdapat hal menarik pada data indeks komitmen Indonesia, berdasarkan hasil survey majalah SWAsembada bersama Hay Group tahun 2005. Seperti di ketahui, angka indeks 63 di atas merupakan overall seluruh partisipan survey di Indonesia. Namun, jika di lihat pada indeks masing-masing perusahaan yang di survei, sebenarnya terdapat beberapa perusahaan yang memiliki indeks komitmen tinggi (di atas 80 poin).

Jika diurai lebih lanjut, dari 31 perusahaan yang di survey, ternyata tiga besar perusahaan di Indonesia yang memiliki indeks komitmen tertinggi itu, semuanya merupakan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia dan bersifat multinasional. Perusahaan itu masing-masing adalah PT. TNT Indonesia, sebuah perusahaan logistik internasional (index score 89), PT. Microsoft Indonesia, sebuah perusahaan produsen sofware komputer terkemuka (index score 88), dan PT. Hasta Rahayu Citra, sebuah perusahaan yang mengelola jaringan kafe internasional, Hard Rock Kafe (index score 87). Lihat Tabel 2 berikut :

Tabel 2.

Indeks Komitmen Karyawan pada 10 Besar Perusahaan di Indonesia

No

Nama Perusahaan

Skor


No

Nama Perusahaan

Skor

1

PT. TNT Indonesia

89


6

PT. Indofood, Tbk

79

2

PT. Microsoft Indonesia

88


7

PT. Dexa Medica

74

3

PT. HRC (Hard Rock Kafe)

87


8

PT. HM. Sampoerna, Tbk.

74

4

PT. Berca Hardyaperkasa

80


9

PT. Bank Niaga, Tbk.

73

5

PT. Anugrah Argon

79


10

PT. Pfizer Indonesia

72

Dari 31 perusahaan yang disurvey dengan melibatkan sebanyak 5080 karyawan itu, didapat lima key driver yang menjadi faktor dominan penunjang komitmen di Indonesia, yaitu : external business focus (27%), job enablement (17%), internal effectiveness communication (15%), internal effectiveness direction (8%), management performance (8%), dan sisanya terbilang kurang signifikan.

Hasil survey yang menggunakan Hay Insight Model of Engaged Performance ini sangat menarik, karena munculnya external business focus (EBF) sebagai faktor dominan bagi pendorong timbulnya komitmen. Hal ini berbeda dengan hasil dari negara lain yang tidak meletakkan EBF sebagai faktor yang dominan (diagram model, terlampir).

Seperti diketahui, EBF ini terkait dengan citra dan reputasi perusahaan di tengah masyarakat, yang menyangkut produk dan servis yang diberikan perusahaan kepada para customer. Sementara management performance (MF) berhubungan dengan reward, recognition, dan insentif yang diberikan perusahaan kepada karyawan.

Berdasarkan data ini dapat disimpulkan bahwa karyawan di Indonesia ternyata tidak melihat faktor gaji sebagai faktor yang menunjang komitmen kerja seseorang. Yang menunjang komitmen itu justru nama baik atau nama besar perusahaan di tengah-tengah masyarakat. Nama baik atau nama besar ini berkaitan dengan customer oriented alias memberi pelayanan yang baik kepada konsumen, baik karena produknya bermutu maupun karena etika bisnis yang dikembangkan. Hal inilah yang membuat seorang karyawan bangga, stay, dan komit kepada perusahaan.


Lampiran. Hay Insight Model of Engaged Performance


Permasalahan

Dari uraian di atas, paling tidak ada tiga pertanyaan masalah yang dapat diajukan, yaitu :

1. Mengapa terdapat perbedaan komitmen karyawan pada masing-masing negara?

2. Mengapa indeks komitmen karyawan Indonesia terbilang rendah jika di bandingkan dengan negara-negara lain?

3. Mengapa karyawan di Indonesia tidak melihat faktor management performance (gaji, reward, insentif) sebagai faktor utama pendorong timbulnya komitmen kerja?

Pembahasan

A. Komitmen dan Budaya Organisasi

Budaya organisasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuhnya komitmen karyawan. Lebih jauh Schein (1992) mengemukakan bahwa budaya organisasi adalah suatu perekat yang dapat menyatukan unsur-unsur dalam organisasi menjadi kesatuan yang terpadu. Budaya merupakan suatu pola pembentukan basic assumption yang dipelajari oleh kelompok sebagai pemecahan masalah bagi anggota organisasi dalam beradaptasi eksternal kelompok dan integrasi internal. Anggota baru dapat belajar berbagai cara agar berpikir, mengerti dan merasakan budaya organisasi dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi (Schein, 1992). Budaya juga merupakan perilaku konvensional dalam komunitas dan mempengaruhi tindakan seseorang meskipun sebagian besar tidak disadarinya, pengaruh tersebut dapat berasal dari lingkungan kepercayaan, adat istiadat, pengetahuan, dan praktek yang diciptakan anggota serta dikembangkan ketika mereka belajar mengatasi persoalan (Schein, 1992). Budaya organisasi merupakan konsep yang soft dan holistic serta merupakan suatu aset psikologis dari suatu organisasi.

Dengan memperhatikan pendapat dari Ouchi dan Schien, maka akan nampak kaitannya antara komitmen karyawan dengan budaya organisasi. Schein mengungkapkan juga bahwa budaya merupakan perilaku yang konvensional dalam komunitas dan mempengaruhi tindakan individu, pengaruh tersebut bisa berasal dari kepercayaan, adat sitiadat, pengetahuan, dan praktek dalam mengatasi persoalan. Pengaruh yang berasal dari kepercayaan terhadap nilai, adat sitiadat, dan norma tentunya sangat dipengaruhi pula oleh budaya (culture) secara makro dimana organisasi itu berada.

B. Telaah Budaya Secara Makro

Budaya yang dimiliki oleh setiap bangsa di dunia ini berbeda-beda. Perbedaan budaya yang dianut serta berkembang dalam suatu bangsa akan mempengaruhi setiap aspek bidang kehidupan masyarakat dalam bangsa tersebut. Tak terkecuali budaya organisasi atau perusahaan dalam suatu bangsa, jelas akan dipengaruhi pula oleh budaya bangsa.

Dalam kajian cross culture, penelitian dari Hofstede (1980) telah banyak membantu dalam mempelajari dalam mengkaji perbedaan budaya antar bangsa di dunia. Hofstede mengidentifikasi ada empat dimensi budaya antar bangsa di dunia, yaitu individualitas, sentralilsasi kekuasaan, menghindari ketidakpastian, dan maskulinitas. Jika melihat daftar tabel mengenai dimensi budaya antar bangsa hasil dari penelitian Hofstede, maka akan nampak perbedaan dari masing-masing dimensi budaya pada setiap bangsa. Dengan skor dimensi yang berbeda-beda pada setiap bangsa, kita akan bisa melihat dimensi apa saja yang dominan pada suatau bangsa. Hal ini menggambarkan salah satu aspek budaya dalam suatu bangsa yang sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakatnya.

Tabel di bawah ini menunjukkan angka di dalam lima dimensi kebudayaan yang ada, menjelaskan bahwa setiap negara memiliki dimensi kebudayaan yang berbeda-beda.

Tabel Angka Dimensi Kebudayaan pada 10 Negara

Negara

Power Distance

Individualism

Masculinity

Uncertainty

Avoidance

Long-term

Orientation

Amerika

40 (low)

91 (high)

62 (high)

46 (low)

29 (low)

Jerman

35 (low)

67 (high)

66 (high)

65 (middle)

31 (middle)

Jepang

54 (middle)

46 (middle)

95 (high)

92 (high)

80 (high)

Prancis

68 (high)

71 (high)

45 (middle)

86 (middle)

30* (low)

Netherlands

38 (low)

80 (high)

14 (low)

53 (middle)

44 (middle)

Hongkong

68 (high)

25 (low)

57 (high)

29 (low)

96 (high)

Indonesia

78 (high)

14 (low)

46 (middle)

48 (low)

25* (low)

Afrika Barat

77 (high)

20 (low)

46 (middle)

54 (middle)

16 (low)

Rusia

95* (high)

50 * (middle)

40* (low)

90* (high)

10* (low)

China

80* (high)

20* (low)

50* (middle)

60* (middle)

11 (low)

* perkiraan

Selain hasil penelitian dari Hofstede, ada juga teori tipologi budaya dari Triandis (1995) yang membedakan antara individualisme dan kolektivisme yang dibedakan menjadi empat dimensi yaitu: definition of self, structure of goal, emphasis on norm vs. attitudes, and emphasis on relatedness vs. rationality. Dengan memperhatikan perbedaan budaya antar bangsa akan membawa kita kepada pengertian dan pemahaman yang lebih jauh terhadap berbagai aspek budaya yang mempengaruhi komitmen dalam suatu bangsa.

C. Budaya Indonesia

Tidak mudah dalam mencari referensi mengenai budaya Indonesia yang representatif dan komprehensif. Karena ketika membicarakan budaya Indonesia akan banyak budaya setiap daerah yang harus diungkap, dengan sifat yang heterogen sangat sulit mengidentifikasi budaya Indonesia yang sesungguhnya. Selain itu, Indonesia tidak memiliki identitas budaya bangsa yang jelas, meskipun secara filosofi dan ideologi dalam kebhinekaan budaya di Indonesia ada nilai-nilai luhur yang termuat dalam pancasila. Namun dalam kenyataan dilapangan, hanya dijadikan idelaita semata.

Menurut Hofstede (2001), Indonesia adalah negara yang memiliki uncertainty avoidance yang terbilang rendah. Dalam dimensi budaya Hofstede, uncertainty avoidance ini dijelaskan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menghindari masalah, atau dengan kata lain tingkat kemampuan bangsa indonesia menangani masalah-masalah dan keyakinan tentang masa depan yang lebih baik.

Selain itu, Hofstede juga memperkirakan bahwa orientasi bangsa indonesia terhadap masa depan terbilang sangat rendah. Dalam dimensi long-term orientation vs short-term orientation, skor indonesia diperkirakan 25, terendah setelah Rusia, Cina, dan Afrika Barat. Dimensi ini adalah nilai yang diorientasikan sebagai bentuk berpikir menuju masa depan. Menurut Hofstede, berpikir jangka panjang akan dapat menambah wawasan dan insight seseorang, karena hal tersebut akan membuat seseorang mampu menemukan cara atau usaha untuk memikirkan apa yang nantinya akan dilakukan pada masa yang akan datang, sehingga dia akan berusaha untuk mewujudkan usaha tersebut.

Dengan demikian, kajian menganai budaya Indonesia dalam tulisan ini hanya akan dilihat berdasarkan perspektif hasil penelitian Hofstede dengan empat dimensi budayanya. Dari situ bisa diidentifikasi dan dikorelasikan dengan aspek-aspek budaya orang Indonesia yang mempengaruhi komitmen kerja dalam suatau organisasi. Berdasarkan hasil penelitian dari Hofstede, Indonesia memperoleh skor 15 untuk dimensi individualitas, 80 untuk dimensi sentralisasi kekuasaan, 45 untuk dimensi menghindari ketidakpastian, dan 45 untuk dimensi maskulinitas.

Nampak bahwa dimensi budaya yang dominan di Indonesia cenderung kolektivis, dipengaruhi oleh kekuasaan yang tersentralisasi, dan relatif masih besar menyukai hal-hal yang tidak pasti. Orang Indonesia ketika bekerja masih sangat menekankan pada keterikatan dengan karyawan lainnya (interdependence), kedekatan terhadap kelompok (norma kelompok), dan lebih mementingkan nilai-nilai sosial. Hal ini tentu akan membawa prinsip komitmen kerja yang sangat unik bagi orang Indonesia.

Terkait dengan hasil survey yang dilakukan oleh Hay Group (konsultan kelas dunia yang berpusat di Boston, USA) dimana Indonesia menempati urutan ke 31 pada Indeks komitmen karyawannya. Dari 31 perusahaan yang disurvey dengan melibatkan sebanyak 5080 karyawan itu, didapat lima key driver yang menjadi faktor dominan penunjang komitmen di Indonesia, yaitu : external business focus (27%), job enablement (17%), internal effectiveness communication (15%), internal effectiveness direction (8%), management performance (8%), dan sisanya terbilang kurang signifikan.

Pertama External businness focus yang mendominasi prosentase faktor komitmen meliputi hal-hal antara lain: Quality of Products/ Services, Customer Focus, Ethics/ Social Responsibility. Kedua Job Enablement, meliputi : Authority, Training, Information, dan Processes. Ada korelasi yang signifikan dari hasil penelitian Hofstede dengan hasil survey dari Hay Group.

External businness focus dan Job Enablement yang menjadi 2 faktor dominan dikaitkan dengan dimensi budaya yang dominan di Indonesia, yaitu :

(1) Quality of products/ Services, karyawan akan lebih komitmen terhadap organisasi jika produk baik berupa barang atau jasa yang dihasilkan oleh organisasi/perusahaan tersebut berkualitas tinggi. Jika tidak, maka akan terjadi sebaliknya;

(2) Customer focus, fokus pelayanan terhadap konsumen menjadi salah satu faktor pendorong munculnya komitmen. Karyawan akan memiliki komitmen yang tinggi jika konsumen merasa terlayani dengan baik atau memuaskan;

(3) Ethics/ Social Responsibility, oleh karena orang Indonesia cenderung kolektivis maka sangat mempengaruhi pola kerjanya. Individu akan mempunyai komitmen yang tinggi jika dapat diterima dan diakui oleh kelompoknya. Dan ketika sudah diterima dan diakui oleh kelompoknya, ia akan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi;

(4) Authority, aspek kekuasaan juga mempengaruhi komitmen karyawan. Karyawan akan menajadi lebih komitmen ketika mempunyai keleluasaan kekuasaan yang lebih pula. Otoritas dipandang sebagai cara memudahkan proses bekerja seorang pimpinan karyawan terhadap karyawannya;

(5) Training. Pelatihan yang dilakukan secara efektif akan mempengaruhi insight karyawan dalam memahami tujuan organisasinya. Kegiatan training akan merubah dan mengembangkan pengetahuan dan pemahaman karyawan terhadap tujuan organisasinya, ia akan tahu posisi dirinya dalam organisasi tersebut. Sehingga komitmen akan muncul bila ia memahami dan sadar betul akan posisi serta peran penting dirinya bagi organisasi;

(6) Information dan Processes, orang Indonesia relatif masih banyak yang menyukai hal-hal yang tidak pasti dan bersifat ambigu. Proses informasi yang terjadi dalam komunikasi antar karyawan lebih banyak yang bersifat informal, kekeluargaan, dan kental dengan nilai-nilai sosial. Tugas pekerjaan yang cenderung formal, kaku, dan pasti kurang disukai oleh karyawan di Indonesia. Sehingga komitmen karyawan akan lebih tinggi jika proses informasi yang terjadi dalam komunikasi antar anggota organisasi lebih bersifat informal, bersifat kekeluargaan, dan mengandung nilai-nilai sosial.